Jumat, 03 September 2021

Assalamualaikum Calon Imam

Tiga tahun lalu, bertempat disalah satu pusat perbelanjaan di tengah kota. Aku bertemu dengan seorang kawan, ini pertemuan ketiga sejak beberapa pertemuan dibatalkan sebab pelbagai hal, salah satunya jadwal kami yang tak selaras. Pertemuan kami di buka dengan menikmati segelas sunday. Selanjutnya, bertanya kabar menjadi topik pertama yang jadi perbincangan, setelahnya topik hangat lain yang sempat kami bahas melalui kolom chat WhatsApp. Ia mengamatiku dari pucuk kepala hingga kaki, katanya aku bertambah cantik, yang dipuji tersipu malu.

Kami bertemu dalam perhelatan akbar tempo hari, menjadi insan tak saling mengenal satu sama lain. Hingga waktu ke waktu semakin dekat. Pertemuan kali ini disponsori oleh peminjaman beberapa novelnya yang berakhir diberikan secara cuma – cuma kepadaku, lagi-lagi aku tersipu malu, entah harus membalas seperti apa kebaikannya. Maka sebagai balasannya, aku mengajaknya berkeliling pusat perbelanjaan yang diakhiri makan bersama di sebuah  foodcourt. Kami menikmati hidangan dengan diselingi tawa maupun foto bersama. Puas berkeliling kami menepi di sudut ruang berjendela tinggi, terduduk di lantai sambil menikmati pemandangan dari atas. Ia banyak bertanya, sesekali ingin tahu bagaimana kemajuan asmaraku kala itu. Aku menceritakan padanya secara rinci, bagaimanapun ia punya andil di dalamnya.

Beralih ke sembarang topik, ia tiba – tiba membujukku untuk membaca sebuah novel yang waktu itu ia rekomendasikan. Katanya aku harus membacanya, selain isinya bagus juga membuat siapapun yang membacanya akan gagal move on. Saat itu aku hanya mengiyakan, mengingat daftar bacaan dan kegiatan yang masih harus kuselesaikan terbilang banyak. Mana sempat aku membaca novel ratusan lembar itu, meski aku senang membaca beratus-ratus halaman, namun kurasa belum tepat momennya. Hingga saatnya pulang dan akan berpisah kembali, ia masih saja membujukku untuk segera membacanya hahaha. Seperti ada hal penting yang ia ingin sampaikan melalui novel tersebut. Di akhir pertemuan, setelah kalimat – kalimat perpisahan dan rencana pertemuan selanjutnya terangkai, ia mengatakan satu hal yang mungkin sudah ia tahan sejak awal, aku masih ingat ia mengatakan satu kalimat panjang,

 Semoga kamu nanti dapat suami, calon imam yang baik, sholeh, mapan, bisa ngaji, tampan, kaya, idaman pokoknya deh, bismillah aku doain”.

Sepersekian detik aku tertegun, sejurus kemudian meng-aamiinkan dengan khusyuk doa yang ia panjatkan. Aku menatapnya sambil tersenyum, sebelum benar-benar hilang dari pandangan tak lupa kubalas doa untuknya dengan sebaik-baiknya doa. Sore itu kami berpisah di gerbang menuju stasiun, setelah menikmati semangkuk sop duren ternikmat di tengah kota.

Di perjalanan pulang, aku membuka goodie bag yang berisi empat novel berukuran sedang sampai tebal yang ia berikan, aku bermaksud mencari novel yang ia rekomendasikan sejak awal. Ketemu! Aku tersenyum membaca judulnya, kubaca sinopsisnya, tak lupa kubaca bagian penulis di halaman belakang dari novel tersebut, dan yaaa! kutemukan tulisan tangan yang sepertinya tulisan kawanku, isinya;

Apakah saya bisa menjadi pasangan hidup untuk …. (menuliskan sepenggal nama berawalan huruf  abjad) di dunia nyata?”  Aku tersenyum lebar, mengerti apa maksudnya selama ini hahaha.

 

Namun, sayangnya….

Meski aku ingin sekali melanjutkan, tulisan ini harus sementara terhenti.

 

 

B.E.R.S.A.M.B.U.N.G

Rabu, 01 September 2021

Tulisan yang Selalu Ditanyakan


Selain pertanyaan kapan nikah, kapan lulus, dan kapan-kapan yang lainnya, masih ada pertanyaan yang setiap aku membaca atau mendengarnya, membuatku kepikiran untuk beberapa saat. Pertanyaan itu tak lain adalah pertanyaan

Masih ada tulisan yang waktu itu, De?”

“Tulisan tentang *ia menyebutkan namanya*  ada ga, De?’

Asli, itu pertanyaan yang bisa dibilang paling aku hindari dan kalau bisa jangan sampai pertanyaan itu ditanyakan kembali. Kenapa pertanyaan itu sampai ke permukaan memang ada asal-muasalnya, aku tidak menampik itu, memang benar adanya. Terkadang pertanyaan itu membuatku mau tak mau menarik kembali kisah lampau yang sudah terkubur dalam. Aku masih ingat, dulu sewaktu masih militan dalam dunia menulis, aku sempat beberapa kali membuatkan beberapa teman dekat dan teman ‘spesial’ kala itu sebuah tulisan. Hahaha. Ada yang memang murni apresiasi, ada yang memang murni mengagumi, ada pula yang memang murni curahan perasaanku untuknya namun kukemas secara apik dan rapi hahaha. Semua tulisan itu sukarela kubuat.

Aku seorang yang perfeksionis, maka ketika dulu aku mengatakan akan menuliskan sebuah cerita lalu memberikannya untuk seseorang, maka aku akan langsung menuliskannya dengan penuh suka cita dan suka cinta. Aku tak peduli, akan nantinya cerita itu akan di baca atau tidak sama sekali, seperti salah satu jargonku,

Aku Pelupa, dengan Menulislah Aku Mengabadikanmu

Di saat itu juga jika laptop sedang dalam jangkauanku, tak pakai lama aku langsung membukanya dan menuangkan isi pikiranku. Hanya soal hitungan jam dan paling lama hitungan hari, tulisan itu selesai dan langsung kubagikan dalam laman ini. Kalau sekarang ada istilah bucin, ya itulah aku pada zaman dulu, tak mengenal waktu untuk menunjukkan sebuah rasa. Jika zaman sekarang kalimat paling ditunggu kalimat Udah aku transfer yaa” maka dulu aku memakai kalimat cek blog ya, cerita tentang kamu udah aku posting”. Tidak 100% tapi aku jamin penerimanya akan langsung deg-degan, berdebar, dan tersenyum setelah membacanya hahaha.

Aku senang mendeskripsikan seseorang melalui media tulisan. Tentang senyumnya yang kugambarkan merekah, tentang hal-hal kecil kesukaannya yang masih kuingat meski ia sendiri lupa, tentang kebiasaannya yang terkadang mengesalkan, dan tentangnya yang lain yang pernah kutuliskan dengan sebaik-sebaiknya.

Sekarang tulisan-tulisan itu beberapa sudah kuhapus dari arsip dokumen maupun laman ini, bersama kenangan yang kala itu menuntunku untuk menuliskan sebuah cerita indah untuknya. Beberapa tulisan lagi masih tersimpan dalam arsip dokumenku yang tidak pernah kubaca kembali. Hanya hitungan jari yang masih bertengger dalam laman ini, itu pun kutulis secara anonim.

Beberapa waktu lalu teman ‘spesialku’ kala itu, menanyakan perihal tulisan tentangnya dalam suatu obrolan yang kembali terjalin, aku hanya tertawa saja dalam kolom chat. Setiap kali ada kesempatan kembali untuk berkomunikasi, meski singkat dan entah kesempatan itu kapan datang lagi, ia selalu menyelipkan pertanyaan perihal tulisan yang pernah kubuat untuknya kala itu. Meski aku tak pernah secara blak-blakan terbuka tentang ke mana enyahnya tulisan-tulisan itu, semoga dengan aku membuat sebuah tulisan ini, bisa menjawab pertanyaannya.

Aku tak begitu yakin ia akan mengunjungi laman tulisan ini dan membacanya. Namun, setidaknya ketika entah kapannya pertanyaan itu datang kembali, aku sudah memiliki jawaban atas pertanyaannya dan tak repot-repot mencari-cari jawaban untuk menjawabnya hahaha.

Hingga sejauh ini aku juga tak mengira, tulisan yang kubagikan dalam laman ini, beberapa di antaranya mampu menjadi kesan dan berbekas dalam ingatan seseorang.

Akhir kata, sebab aku tak memiliki kontak dari teman ‘spesialku’ kala itu lagi, kuucapakan juga terima kasih kepadanya sudah menempatkan tulisanku di dalam ruang ingatannya. Semoga tulisan ini dapat menjadi pengingat sekaligus mewakili permohonan maafku untuknya, jika tulisanku pada kala itu mungkin berlebihan. Di mana pun ia berada, kehidupannya yang sekarang seperti apa, kudoakan selalu dalam lindunganNya. Aamiin.

Kamis, 11 Maret 2021

Yok, Mundur Yok!

 

“Mundur lewat jalur perasaan, maju lewat jalur doa” sekiranya itu yang terlintas di pikiranku, setelah membaca seutas pesan singkat dan mendengar sebuah pernyataan yang cukup membuat terhenyak. Mungkin opsi tersebut bisa menjadi pilihan bijak dan terbaik untuk saat ini. Tak ada keputusan yang tidak berat, jadi “yaudahlah mau gimana lagi” sudah cukup membantu meski sedikit. Aku tahu betul mengendalikan orang lain itu amat sangat menyulitkan. sebab itu kukira sudah saatnya mengendalikan diri dan menyadari diri lebih dalam lagi seperti anjuran sesi meditasi yang pernah kuikuti tempo hari.

Kembali memproteksi diri, mengerjakan banyak hal-hal produktif, membatasi yang memang perlu dibatasi seperti yang sudah-sudah. Kalau dulu bisa melewatinya, sekarang seharusnya jauh lebih mahir dari sebelumnya yakan? Jadi, mari dicoba kembali. Semangat! Pasti bisa, yok mundur yok pelan-pelan :’) sudah paling benar memang pilihan “cukup mendoakannya saja yang terbaik” hhhhh.

 

Rabu, 16 September 2020

Haruskah aku menerima ini?

 


Ingin pergi saja dari dunia ini,, katanya disela-sela curhat bertempo enam puluh menit itu.

Aku terdiam, sejenak mengiyakan dalam hati…aku pun.

Sepertinya setiap yang kulakukan selalu dianggap salah, ah mungkin lebih tepatnya memang aku yang selalu salah. Aku diam tak membalas salah. Aku buka suara pun, tetap salah. Lalu aku harus apa? Diam saat harga diri diinjak-injak? Diam saat jawaban yang kusuarakan memang benar adanya? Sampai kapan aku harus begini? Aku capek, sakit hatiku, bosan rasanya mendengar narasi berulang-ulang yang menghujam batinku setiap kali aku dianggap salah.

Lagi-lagi aku mengiyakannya…aku pun

Aku selalu berpikir, bahkan ketika aku memang benar salah, apakah aku memang pantas mendapatkan ini semua?

Sesaat mengutarakan isi hatinya, ia tertawa. Tawa yang gamang disertai tatapan mata kosong.

Minumlah, pintaku. Seraya menyodorkan segelas air dingin di hadapannya.

Ia menerimanya. Perlahan-lahan meneguk isinya hingga tandas.

Hey, kau dari mana saja? Haus betul sepertinya. Aku mencoba mencairkan suasana yang bisa dibilang cukup menguras emosi itu.

Ia tertawa sekali lagi, kali ini tawanya lebih natural.

Boleh kulanjut? Ia meminta diri.

Silakan. Aku hanya jadi pendengarmu di sini. Berceritalah sesukamu, aku akan buka suara jika diminta. Lanjutkanlah, jika dengan begitu hatimu merasa lega setelah bercerita padaku, ya meski hanya sedikit.

Ia menarik nafas panjang.

Aku masih ingat perkataanya, sakit sekali saat mendengarnya. Aku tak pernah mengira orang terdekatku donatur paling dermawan penyumbang rasa sakit hatiku.

Aku tersentak. Perkataannya halus namun penuh tekanan.

Sekarang ia memintal-mintal ujung bajunya.

Suasana kembali hening, bibirku masih menutup, kalau pun dapat kesempatan berbicara, aku bingung akan membahas yang mana.

Kalau..kalau saja aku berani mengutarakan pendapatku secara gamblang, mungkin semua ini bisa dihindari. Ah tapi percumalah, untuk yang sudah di cap selalu salah, pembelaan atau perlawanan hanya menimbulkan masalah baru dan memanaskan situasi saja. Iya kan?

Lagi pula meski sudah menginjak dewasa, cap “anak kecil tak tau apa-apa”  akan terus melekat di diriku. Iya kan?

Ia tersenyum bengis sambil tangannya meraih segelas air dingin. Meremasnya.

Hanya pendingin udara yang kini mengeluarkan suara.

Ahiya, terima kasih untuk kesempatan kali ini, didengarkan dan di tulis ceritanya sungguhlah suatu kehormatan bagiku. Sekali lagi terima kasih, sudah mau mendengarkan tanpa memberi komentar menggurui. Kadang yang diperlukan memang hanya itu, didengarkan. Tidak lebih tidak kurang. Meski aku tahu, kau tentu sudah gemas ingin mengeluarkan pendapatmu bukan? Hahahaha.

Aku hanya tersenyum, sebagaimana gemasnya aku belum diperkenankan untuk memberi asumsi, maka aku hanya diam, sesekali menyimak, sesekali menggaruk kepala yang tidak gatal sebab ketombe.

Ia merapikan gelasnya, membayar bill pesanan, bersiap mengundurkan diri. Kemudian berjabat tangan seraya tersenyum, lalu tanpa hitungan aba-aba sudah bergerak menjauh meninggalkanku.


Aku berterima kasih kepadanya selain telah menyumbangkan keluh kesahnya, ia juga telah lantang menyuarakan apa yang memang sudah lama ingin kusuarakan. Sekali lagi terima kasih, sampai bertemu dikeluh kesah berikutnya.

 

 

Sabtu, 18 Juli 2020

#DiRumahAja : Ceritain Orang Lain



Meski menceritakan diri sendiri tiada habisnya, bagiku menceritakan orang lain juga sama, tiada habisnya, selalu saja ada topik hangat yang layak untuk diperbincangkan. Ini tentangnya beberapa tahun silam, aku sengaja menulisnya agar setiap kubaca kembali, aku bukan saja mengingat kisahnya namun secara otomatis juga mengingat senyum tipis nan menawannya, aduhai manis sekali. Namanya tak akan kutuliskan di sini, alasannya biarlah semua berjalan semestinya. 

Dia yang tak kusebutkan namanya, telah membuat detak jantungku berdebar dua kali lebih cepat dari biasanya. Itu pertemuan pertama kami, di ruangan berukuran 7 x 8 meter. Terlalu cepat, hingga berlalu begitu saja. Hari – hari berikutnya, senin sampai sabtu aku beryukur dapat leluasa memandanginya meski dibeberapa kesempatan aku harus mencuri tatap. Gerak – geriknya selalu kuperhatikan, bagiku setiap jengkal yang ada di dirinya menjadi daya tariknya, buktinya aku terpedaya mungkin begitu juga dengan perempuan lain saat melihatnya. Jaket oranye yang selalu ia kenakan menjadi salah satu ciri khasnya, selain wajah Tionghoanya. Ah sial, kini wajahnya memenuhi sel-sel otakku. Di beberapa kegiatan, aku menjadi bagian dari kelompoknya. Senang betul rasanya, selain mempunyai akses untuk mengobrol tanpa hambatan, aku bisa memandanginya secara dekat. Mantap.

Awalnya aku minder, sebab ia salah satu murid yang pandai, tapi semua itu musnah saat aku dan anggota lain termasuk ia di dalamnya melebur memecahkan tugas dari guru dan berhasil menjawabnya dengan baik dan benar. Perfect!. Wajahnya semringah saat kelompok kami disebutkan menjadi kelompok terbaik. Ia menatapku, lagi lagi dengan senyumnya, mengisyaratkan bahwa kerja sama yang bagus kawan. Aku membalas senyumnya, senyum paling manis pastinya. Waktu terus berjalan, aku dan dia semakin dekat, tak jarang saat aku membawa tas laptop yang cukup berat ia selalu membantu membawanya, seringnya sedikit memaksa, lucu sekali. Katanya, laki-laki harus membantu perempuan, apalagi perempuan yang sedang membawa beban berat, ucapnya kala itu. Aku? Ya mau tidak mau menyerahkan tas laptop itu kepadanya. Ia berjalan lebih dulu bersama teman laki-laki lainnya ke lab komputer, sedangkan aku berjalan di belakangnya bersama teman-teman perempuan lainnya. Kulihat dua tiga dari teman sekelasku berbisik-bisik, matanya tajam melihatku yang tasnya dibawakan olehnya. Aku cuek, toh aku tidak memaksa dan memintanya untuk membawakannya. Semakin hari hubungan kami semakin dekat, kalau ditanya tentang perasaan, sejak melihat ia pertama kali aku sudah jatuh hati hahaha. Suatu ketika, saat ia sedang membawakan tas laptopku seorang teman perempuan yang memang sejak awal kedatanganku di kelasnya tidak menyukaiku, mengambil alih tas laptop dari tangannya, aku kaget begitupun dengannya, perempuan yang berinisial sama sepertiku itu lalu berbicara “Lagian ngapain sih dibawain, kan si Ade juga bisa bawa sendiri” sambil berlalu membawa laptopku ke lab komputer. Aku dengannya bersitatap lalu menaikan bahu, tidak tahu menahu. Beberapa waktu kemudian kuketahui perempuan itu juga menyukainya amat sangat malah, namun pada akhirnya aku mendapati foto pernikahannya dengan sahabat dari yang tidak bisa kusebutkan namanya ini selepas perpisahan lalu, hahaha dunia oh dunia!

Singkat cerita, setelah dekat dan sering berkirim pesan melalui SMS atau pesan di facebook pada zamannya, lalu komunikasi lainnya. Aku sadar diri, bahwa aku dengannya sudah terlalu jauh semisal bertujuan memiliki hubungan lebih dari teman. Ya, aku memutuskan untuk menjauhinya secara perlahan saat itu, sejak kuketahui keyakinannya berbeda denganku. Aku kalah sebelum bertarung, kalah, telak. Mungkin sudah dari awal aku kalah, tapi aku masih bebal untuk terus mencoba dan lihat hasilnya kau kalah juga Ade :’) itu patah hati pertamaku.

Ahiya, ia juga menjadi orang pertama yang mengubah perspektifku tentang paras Tionghoa. Tidak bermaksud SARA, lebih jauh dari itu ini tentang selera, tipikal. Dulu, aku melihat lelaki berparas Tionghoa ya biasa saja, meski kata orang lain tampan rupawan dengan segala halnya, bagiku ya sudah biasa saja tidak ada yang perlu banyak dikatakan, biasa saja, cukup. Sampai aku bertemunya dan aku jatuh hati dengannya. Semua pandanganku tentang paras Tionghoa akhirnya berubah haluan menjadi seperti kata orang lain yang dulu selalu mereka katakan, tampan, rupawan seperti pada umumnya. Aku tidak lagi memukul rata, tapi lebih dari itu, aku mengakui dengan cara pandang yang baru.

Setahun dua tahun setelah lulus aku masih bisa memantaunya melalui media sosial, sialnya, acap kali aku melihat fotonya aku lantas ikut tersenyum, seakan-akan senyumnya hanya tertuju padaku, padahal senyumnya untuk siapa saja yang melihat fotonya, hahaha dasar kepedean! Ya, hanya sebatas melihatnya, menyukai hasil jepretannya tanpa pernah berani mengucap aku juga menyukai dirimu, hei!. Tahun kedua setelah lulus, aku direncanakan operasi. Bagi yang pernah membaca ceritaku sebelumnya, tentu tahu aku akan operasi apa :). Dua tiga hari sebelum operasi berlangsung, aku mengirim permohonan doa di grup WhatsApp alumni kelasku, tujuannya tentu untuk mendoakan operasiku agar berjalan dengan lancar dan selamat. Hari selasa, H-1, Ada notifikasi masuk di ponselku, aku bertanya-tanya, nomor siapa ini? cepat-cepat kubuka, betapa langsung tersenyum dan berbunga-bunganya hatiku saat kudapati ternyata pesan darinya. Seingatku isinya seperti ini

 “Hai Ade, semoga besok operasinya lancar dan cepat sembuh ya :)lalu tanda strip namanya. Aku seperti dapat asupan semangat berkali-kali lipat, bahagia sekali.

Usai operasi dan masuk dalam tahap pemulihan, beberapa perwakilan dari teman sekelasku hendak membesukku di rumah. Mungkin dua minggu setelah aku pulang dari rumah sakit. Aku bertanya kepada temanku di grup whatApps tentang rencananya ke rumahku, mereka bilang belum tau, alih-alih membuat surprise, sore harinya di hari yang sama mereka datang ke rumahku tanpa mengatakan apapun. Tiba-tiba ketuk pintu, memanggil namaku, lalu masuk dan memberiku buah tangan. Aku senang sekaligus malu, betapa kumal dan acak-acakannya aku saat mereka melihatku. Di akhir, aku juga foto bersama mereka, lebih tepatnya dipaksa dan mereka menguploadnya ke grup WhatsApps kelas, menyebalkan!.

Setelah mereka pulang, ponselku berbunyi, pesan masuk darinya terpampang di layar kaca. Rasa sakit yang sedang aku rasakan bekas operasi berangsur-angsur mereda, sesaat aku membaca pesannya, ajaib. 

“Ade maaf gue gabisa ikut besuk kerumah lu, semoga cepat sembuh ya de :)
Walau hanya itu, untuk sekali lagi, pertahananku kembali runtuh.

Sebenarnya bagian ini merupakan bagian klimaks dari cerita ini.
Setelah aku mengetahui ia berbeda keyakinan denganku, daftar doaku bertambah satu, apalagi kalau bukan mendoakan dirinya, ini doa yang berbeda. Sebab, aku mendoakannya khusus agar ia semoga mendapat hidayah dan berpindah keyakinan. Terdengar tidak waras memang, tapi itulah nyatanya hahaha. Sayang saat itu aku kurang spesifik berdoanya hingga……saat tahun ketiga selepas lulus sekolah, aku mendapati informasi yang tentunya valid, bahwa ia berpindah keyakinan. Saat pertama kali mendengarnya aku kaget, selanjutnya senang karena doa yang kurapalkan di setiap salat wajib dan sunnahku dikabulkan sang Pencipta, masyaAllah keutamaan doa memang LUARRRR BIYASA. Berikutnya perasaanku seperti tak jelas, sejak tahu kalau ia berpindah keyakinan dan keyakinan barunya masih berbeda dengan keyakinanku :’). Dari sini aku mengambil hikmah positif bahwa jika kau berdoa, berdoalah dengan jelas dan spesifik. Di tahun ketiga itu juga, untuk pertama kalinya lagi kami dipertemukan dalam acara buka bersama teman sekelas dahulu, saat melihatnya untuk sekali lagi, cuplikan-cuplikan memori zaman dulu seakan diputar kembali. Gatau lagi mau berkata apa, senyumnya masih sama, masih memakai kacamata yang berbeda postur tubuhnya kini lebih gagah dan kekar, bahkan saat menulis kisah ini aku reflek membuka file foto bersama kami dan teman-teman lainnya di acara itu hahaha. Amazing.

Empat tahun berlalu, kelak semoga aku, dirinya dapat bertemu atau dipertemukan kembali entah di acara pernikahanku atau pernikahannya, tidak ada yang tahu bukan? Jadi yang sudah berlalu biarlah berlalu, biarlah ia abadi hanya dalam tulisan ini. 

Sekian.

Jumat, 10 April 2020

#DiRumahAja : Ceritain Diri Sendiri

Tulisan ini disponsori oleh diri sendiri untuk mengingatkan diri ini, bahwa suatu yang di ucapkan, di tuliskan, dibercandai dsbnya hanya soal waktu menjadi suatu kejadian nyata yang mengubah kehidupan perlahan-lahan, maka berhati-hatilah.
Cuaca teduh menaungi langit pagi ini, kurasa matahari sedang bertukar shift dengan si kelabu. 

Terlepas dari doa dan usaha, kupikir segala tindakan dan ucapan menjadi opsi berikutnya yang harus diperhatikan, maksudku kita perlu berhati-hati namun tidak juga membatasi. Mengambil contoh dari kehidupan pribadi yang dampaknya dirasakan oleh diri sendiri dan yaaaa, kadang hampir tidak bisa dipercaya sehingga respon yang di keluarkan seperti “YaAllah bisa kaya gini” atau “Yaampuun bener kejadiaan ini tuh” dllnya. 

Beberapa kejadian yang kuambil sebagai contoh;

Pertama, menoleh ke belakang tepatnya sekitar tahun 2012an. Aku yang saat itu meranjak SMK dibuat pusing, sedih, sampai menangis oleh keadaan fisikku yang bisa dikatakan mulai menampakan “keanehannya” disebut cacat ya bukan juga, disebut kelainan lebih tepatnya, yang seiring berjalannya waktu kuketahui bahwa aku terdiagnosa kelainan tulang belakang atau kata lainnya Skoliosis. Sedih? Kecewa? Tidak terima? Tentu, apalagi ini bukan kelainan yang dibawa sejak lahir. Aku ingat betul, meski perekonomian keluargaku cukup, cukup untuk makan, cukup untuk keberlangsungan hidup, tapi aku sungkan meminta ke mereka untuk mengecekan keadaanku ke dokter di mana aku tahu sekali konsultasi ke dokter dan yang mana pastinya aku harus rontgen akan menghabiskan biaya yang tidak sedikit. Saat itu mungkin jalan terbaik dan bijaknya, aku mengunci diri menghindari pertemuan dengan teman-teman, sok-sokan berjalan tegak agar tidak terlihat bungkuk sebab punuk yang semakin membesar dan bentuk tubuh yang semakin tidak simetris dan kurang jelas. Jujur, sakit, pegal, tidak nyaman sekali ketika harus menahan berjam-jam tubuh dalam posisi tegak saat sedang sekolah atau bepergian. Cerita selengkapnya mungkin akan kubuatkan dikesempatan tulisan berikutnya.

Singkat cerita, kelainan yang ada di tubuhku coba kukubur bersama angan-angan pengobatan atau hal-hal yang dapat mengubahnya. Aku hanya mampu berdoa, olahraga, atau aktivitas yang kupikir bisa menekan perkembangan kelainan yang ada. Pertengahan tahun 2015 tepatnya bulan juli, pertama kalinya aku berkonsultasi ke dokter spesialis Orthopedi, namanya dokter Alif, ia ramah, kata-katanya halus namun secara bersamaan menjadi tamparan sangat keras untukku. Selain mendiagnosa keluhanku, ia juga mengatakan “Gausah takut gadapet jodoh, jodoh udah diatur sama Allah” ucapannya meneduhkan, detik itu juga ada rasa berdesir di hatiku, sebenarnya air mata ingin menetes namun kutahan sedemikian rupa, imbasnya ketika ingin tidur aku menangis sekuat-kuatnya hahaha. Hingga, semua proses telah kujalani dari 0 sampai selesai, sekarang. Mulai dari konsultasi ke beberapa dokter dan rumah sakit berbeda, rontgen yang entah sudah berapa kali kucoba dengan beberapa gaya berbeda, Operasi pemasangan pen di awal tahun 2016, menginap di ruang ICU selama 6hari, belajar berjalan, menunduk, gerakan salat, memakai alat-alat yang dahulu cuma kulihat di sinetron ketika keadaan sedang darurat. kubayangkan betapa kerennya jika memakai alat itu dan yaaa lagi lagi ucapan adalah doa, entah harus sedih atau senang ketika usai operasi memakai alat-alat itu disekujur badan.

Aku senang, bersyukur sekali dapat kesempatan seamazing itu, empat tahun berlalu, dan rasanya masih sama bahkan bertambah besar, tidak percaya, tidak menyangka doa-doa, ucapan, usaha-usahaku yang kutabung di tahun-tahun sebelumnya bakal terwujud dan tahap demi tahap pengobatanku dari awal hingga dieksekusi terbilang prosesnya cepat. MASYA ALLAH. Meski ada juga segelintir orang yang mengatakan aku begini begitu sebab memiliki kelainan pada tulang belakang. But, I don’t care. Mereka hanya belum tahu cerita lengkapnya, yang mereka tahu hanya potongan-potongan cerita menggiring persepsi/opini. Jika mereka ingin tahu lengkapnya, aku pun dengan senang hati menceritakannya :)

  Cerita kedua, jauh sebelum aku kuliah dan belum tahu pasti akan melanjutkan ke universitas apa. Bisa dibilang setiap berdoa, setiap memperbincangkan hal-hal yang bersangkutan dunia perkuliahan, aku pasti akan mengatakan “YaAllah pengen berangkat kerja atau kuliah setiap hari naik KRL” hahaha. Kalau ditanya alasannya, hmm aku akan menjawab karena naik KRL seru, banyak pemandangan yang tak bisa dijumpai di transportasi lain, orang-orang berbeda berlalu-lalalng terlihat setiap harinya, sesimple itu. Terengtengteng, dan yaaa ucapan-ucapan baik itu kembali menjadi nyata. Meski naik KRL tak berujung selalu manis, aku tetap senang karena itu adalah salah satu doaku padaNya.

Cerita ketiga, setelah operasi pemasangan pen yang hasilnya masyaAllah baiknya dari ekspektasiku. Cerita kali ini juga di luar ekspektasiku. Setiap aku membayangkan kembali kejadian-kejadian di luar nalarku, aku hanya dapat bersyukur sebanyak-banyaknya dan mengatakan ini semua di bawah KuasaNya, tak elok jika pikiranku negative kepadaNya, Astagfirullah, maafkan hambaMu yang masih sendiri ini yaAllah. Kejadiannya pertengahan Oktober 2019 lalu, sebab satu dan lain hal mengharuskanku untuk entah bagaimana caranya berpindah kelas dari regular ke kelas ekstensi di semester depan. Tidak terlalu sulit, tapi bagiku yang sulit ketika itu bagaimana caranya agar aku mendapatkan pekerjaan di waktu yang bisa dibilang tidak lama ini. Berpikir keras sudah,  usaha sudah, berdoa jangan ditanya pastinya telah kulakukan. Dua bulan berlalu, aku makin pusing dan entah harus bagaimana lagi jika belum dapat pekerjaan. Usai salat selalu kuselipkan doa dalam hati seperti ini “YaAllah semoga Ade segera dapat pekerjaan sebelum semester ganjil ini berakhir dan semester genap di mulai ya Allah.” Menuju akhir Desember 2019, angin segar itu datang, hawanya sangat menyejukkan. Entah semesta ingin memberi kejutan apa, tiba-tiba berita baik itu datang dari salah satu kerabatku yang mengabarkan seutas info lowongan pekerjaan. Setelah membahas ini-itu, akhirnya sebelum habis Desember dan tahun berganti, aku sudah mendapatkan pekerjaan, partner kerja yang satu frekuensi, lokasi tempat kerja yang tidak terlalu jauh dari rumah dllnya. Senang? Senang sekali, sampai sekarang aku seperti mimpi setelah kejadian-kejadian di luar nalarku bergantian terjadi begitu saja, Alhamdulillah, semuanya berakhir dengan bahagia. Kalau pun tidak berakhir bahagia atau sesuai kemauanku, aku tidak akan kecewa, karenaku berharap denganNya bukan dengan sesama makhlukNya. Hahaha.

Cerita lainnya tentu masih banyak lagi, mungkin akan panjang jika semuanya kutuliskan itu pun belum terhitung jika ada cerita yang terlewat hahaha. Kesimpulannya, apa pun itu, Jika bisa ditahan, aku rasa setiap ucapan yang keluar dari lisan maupun tulisan harap untuk tidak berkata sembarangan dan tentunya difilter kembali. Selain kejadian-kejadian di atas merupakan unsur dari campur tanganNya, doa-doa baik orang tua, kakak, saudara, oranglain, bahkan doa maupun perkataan yang sering sekali kulontarkan. Terkadang kita terlalu bebas hingga lupa sudah terlalu jauh keluar jalur dan ketika ucapan maupun tulisan kurang baik itu dikabuli kita merutukiNya, tidak terima, Astagfriullah. 

Tulisan ini tidak bermaksud menggurui atau menjerumusi. Tulisan ini aku dedikasikan untukku sendiri, sebagai pengingat bahwa banyak kesalahan atau pun kejadian fatal yang bisa disebabkan dari sembarang doa, ucapan, tulisan yang kulakukan. Terlepas dari itu, jika tulisan ini dapat menjadi pengingat oranglain juga, tentu aku pun senang karena bisa sama-sama mengubah dan berbenah diri. Bukan membatasi, tapi berhati-hati dan bijaklah :)

#DiRumahAja